top of page

World Againts COVID-19

  • Writer: Sansa
    Sansa
  • May 23, 2020
  • 4 min read

Updated: May 24, 2020

World Againts COVID-19

Menjelang awal tahun 2020 Tiongkok dikejutkan dengan sebuah wabah yang melanda di kota Wuhan Propinsi Hubei, China, wabah yang gejalanya mirip pneumonia atau infeksi pada paru-paru yang disebabkan oleh bakteri atau virus, sehingga pasien akan mengalami sesak nafas. Awalnya dokter menanggapi dengan biasa dan menganggapnya sebagai penyakit pneumonia biasa, tapi anehnya semakin hari semakin banyak orang yang pergi ke rumah sakit dengan gejala yang sama. Jumlah pasien pun meningkat drastis dengan sangat cepat. Singkatnya ternyata ini bukan pneumonia biasa. Tapi pneumonia ini adalah sebuah efek samping atau gelaja dari adanya virus yang masuk ke dalam tubuh manusia, yaitu CORONA VIRUS DESEAS 2019 atau yang disingkat menjadi COVID-19/Corona. Corona sendiri sebelum menyebar di Wuhan sudah pernah disinggung sedikit di drama korea berjudul Terius Behind Me, episode 20.

Perlahan tapi pasti pada awal tahun 2020 penyakit ini mulai mendunia. Italia adalah sebuah negara dengan sistem kesehatan terbaik di Eropa pun kewalahan menghadapi virus ini, bahkan kemudian negara adidaya seperti Amerika pun seolah tak berdaya menghadapi Corona (terlepas dari isu politik yang melatarbelakanginya). Sedangkan Vietnam dan Korea yang masih kalah kecanggihan nya dibandingkan dengan Italia dan Amerika berhasil “menang” melawan virus ini.

Sebenarnya Corona bukan penyakit yang berbahaya JIKA dapat ditangani dengan segera dan tepat, masalahnya adalah penyakit ini sangat mudah menular, seperti efek domino. Ketika mudah menular maka jumlah orang yang sakit secara bersamaan akan bertambah. Pertanyaannya kemudian apakah fasilitas kesehatan dan tenaga medis kita cukup kuat untuk melayani pasien Corona ini?.

Kekalahan Italia lebih disebabkan karena penduduknya yang menyangkal tentang penularan Corona. Lombardia, beberapa jam sebelum diumumkan lockdown, anak muda perantauan berbondong-bondong mudik ke kampung halaman dengan menggunakan sarana transportasi yang (anehnya) masih berjalan normal, maka dapat dipastikan virus corona ini pun ikut jalan-jalan di dalam tubuh mereka dan bersiap loncat untuk berpindah ke tubuh orang lain. Bahkan baru-baru ini ada pernyataan dari tenaga medis Tiongkok yang membantu Italia bahwa di Italia penduduknya bersikap santai, keluar rumah tidak pakai masker, bahkan ada yang masih berkerumun di luar rumah. Hasilnya dapat kita lihat hari ini, angka kematian Italia sangat tinggi, hampir ratusan orang setiap harinya.

Jika di Italia yang menyangkal adalah penduduknya maka di Amerika yang menyangkal adalah presiden nya, yaitu Donald Trump. Jika Trump menyangkal, maka ia akan sangat terlambat untuk membuat kebijakan penecagahan dan itu terbukti dengan tingginya angka kematian di Amerika karena Corona, bahkan angka kematian di Amerika melebihi Tiongkok yang merupakan negara “produsen” dari Corona.

Kemenangan Vietnam dapat dimaklumi karena negara tersebut menganut paham sosialis, yang penduduknya sudah “terdoktrin” untuk patuh pada pemerintah. Saat satu orang warga Vietnam terdeteksi terkena Corona, maka pemerintah Vietnam dengan tegas segera me-lockdown wilayah pemukiman orang tersebut, bukan kotanya atau negaranya dan tentu dibarengi dengan penyemprotan desinfektan. Perlu dicatat lockdown dan PSBB adalah dua sistem yang berbeda. Sistem Lockdown cenderung bersifat memaksa secara ‘militer’ sedangkan PSBB diperlukan kesadaran dari penduduk untuk melaksanakan nya.

Yang mengejutkan adalah kemenangan Korea Selatan, karena tanpa lockdown dan tanpa PSBB, Korea mampu mengendalikan penyebaran Corona. Padahal ada insiden mengejutkan disana, tepatnya di daerah Daegu. Para jemaat sebuah gereja di Daegu ternyata pernah mengunjungi Wuhan pada awal-awal masa wabah Corona melanda, tapi kepala gereja Daegu menyembunyikan fakta tersebut. Padahal saat itu jemaatnya banyak yang tertular. Untungnya pemerintah Korea sudah menyiapkan langkah pencegahan jauuuuhh sebelum Corona ini mengunjungi Korea. Sebelum Corona sampai ke Korea pemerintah di sana mengumpulkan berbagai pihak terkait, mulai dari rumah sakit, dokter bahkan industri farmasi dikumpulkan. Pemerintah melakukan “briefing” untuk mempersiapkan langkah pencegahan. Termasuk menyiapkan produksi alat tes dan masker sebanyak-banyaknya dan pemetaan tim yang nanti akan bertugas mengambil sampel pasien berikut dengan prosedur dan pelaksanaan teknisnya. Sehingga saat pertama kali Corona singgah di Korea, masker di supermarket sudah tersedia banyak, tanpa penimbun, APD pun tersedia bagi tenaga medis dan petugas dengan sigap mengambil sampel pasien secara DRIVE THRU. Tak lupa warga nya pun disiplin mengikuti arahan pemerintah dan inilah yang menjadi faktor utama hilangnya Corona di Korea. Anehnya kita yang punya peribahasa sedia payung sebelum hujan tapi korea lah yang duluan mempunyai payungnya.

Bagaimana dengan Indonesia??

Sebagai pemimpin, pemerintah pun tidak ingin mendengar rakyatnya mengeluh karena Corona. Walaupun ada beberapa kebijakan janggal, tapi saya yakin siapapun pejabatnya pasti akan bingung menghadapi situasi ini. Sayangnya masih ada dari berbagai kalangan, baik kiri maupun kanan, atau utara dan selatan yang saling sikut demi nama baik mereka sendiri.

Tapi yang tidak kalah mengejutkan adalah kelakuan rakyatnya. Saya rasa ada yang salah dengan pola pikir rakyat Indonesia. Saat pemerintah mengumumkan PSBB dengan santainya rakyat negeri ini bersikap seperti warga Italia. Saya tidak menyalahkan para pedagang yang berusaha mencari sesuap nasi. Tapi mereka yang keluar karena bosan, yang keluar karena ingin ngabuburit, yang keluar dan berkerumun karena ingin punya baju lebaran walau dibeli menggunakan uang bansos. Baik kaya maupun miskin, baik berpendidikan atau yang warga proletar kota berhasil membuat saya geleng-geleng kepala. Bahkan sampai beberapa tenaga medis pun menyuarakan slogan Indonesia Terserah yang beritanya sudah sampai ke negeri Jepang. Memang benar pemerintah Indonesia tidak bisa memberlakukan lockdown atau bersikap represif seperti polisi India terhadap warganya karena faktor ekonomi. Pemerintah pun tidak melarang kita untuk berbelanja. Tapi ada baiknya jika kita bersikap bijak, keluar seperlunya saja. Pada akhirnya yang berperan dalam menuntaskan penyebaran wabah ini adalah pribadi kita sendiri.

Disini saya baru sadar bahwa bangsa Indonesia belum bisa satu visi dan misi dalam menghadapi masalah. Maka apapun masalahnya, siapapun pemimpin nya akan sama saja hasilnya. Kecuali ada sebuah revolusi mental yang bisa menyamakan visi dan misi tersebut, tidak lain dan tidak bukan melalui pendidikan. Mirisnya saya melihat jalur ini pun penuh dengan dilema, seperti yang diungkapkan oleh mas menteri dalam video puisinya beberapa waktu lalu.

Wabah Corona ini memperlihatkan kepada kita sifat asli dari setiap individu dan pola perilaku warga sebuah negara atau istilah keren nya The True Color of Us.

Comments


bottom of page